Salah satu point penting pidato perdana, Presiden Prabowo  saat dilantik adalah tentang swasembada pangan. Beliau menekankan bahwa Indonesia harus segera mencapai swasembada pangan secepat mungkin. Kita tidak boleh bergantung pada pasokan makanan dari luar.

Presiden Prabowo mengungkapkan bahwa dalam kondisi krisis global, negara lain cenderung mengutamakan kepentingan dalam negeri mereka. Oleh karena itu, Indonesia perlu mampu memproduksi dan memenuhi kebutuhan pangan nasional secara mandiri.

“Saya telah berdiskusi dengan para ahli yang mendukung saya, dan saya yakin dalam waktu 4-5 tahun kita akan mencapai swasembada pangan. Bahkan, kita siap untuk menjadi lumbung pangan dunia,” jelas Prabowo. Sebuah komitmen yang sangat menarik dan urgent.

Harapan presiden Epictoto, sejatinya harus didukung, oleh semua pihak, jangan biarkan presiden sendiri menghadapinya, rakyat harus mendukungnnya.

Dalam kaitan itu, antusiasme beragam pihak telah mulai kelihatan ketika Saya ditugaskan oleh rektor untuk menjadi tim juri lomba Inovasi di Kodya Denpasar. Salah satu yang menarik dalam kaitan swasembada yang didengungkan oleh dinas pertanian Kodya Denpasar yakni meningkatkat produksi padi.

Anda tahu bukan, Kodya Denpasar memiliki lahan sawah tidak luas, dan terdesak alih fungsi lahan yang masif. Contoh pada 2021, lahan pertanian di Kota Denpasar terdata seluas 2.425 hektare. Sementara setahun sebelumnya luas lahan pertanian 2.468 ha. Lebih lanjut menurut data dari Dinas Pertanian Kota Denpasar, terjadi penurunan lahan pertanian sebesar 100 hektar sepanjang tahun 2023 hingga 2024. Terjadi penurunan alih fungsi demikian masif.

Walaupun demikian berbagi usaha terus dilakukan oleh pemerintah daerah, dengan Dinas Pertanian Kodya Denpasar terus berjuang untuk meningkatkan dan memaksimalkan produksi padi.

Permasalahan yang diberikan solusi adalah Data Pendukung Pertanian Presisi yang Belum Optimal. Pertanian presisi sangat bergantung pada data yang akurat dan terintegrasi untuk mengambil keputusan yang tepat. Namun, pengumpulan, pengelolaan, dan pemanfaatan data pertanian di Kota Denpasar masih belum optimal. Data yang tidak terintegrasi juga menyulitkan pemerintah dan pemangku kepentingan lain untuk merumuskan kebijakan yang presisi.

Inovasinya diberikan sebagai solusi disebut “Mager di Pesisi” (Majukan Gerakan Pertanian Presisi). Inovasinya adalah berupa:

1. Layanan Informasi Pemupukan Real-Time Per Petak Lahan Petani. Layanan informasi pemupukan real-time per petak lahan merupakan solusi dalam pertanian presisi yang memanfaatkan teknologi untuk memberikan rekomendasi pemupukan yang tepat waktu dan terperinci sesuai dengan kebutuhan spesifik setiap petak lahan petani. Layanan ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi pemupukan, mengoptimalkan hasil panen, dan meminimalkan dampak lingkungan serta dapat diakses secara real-time oleh stakeholder terkait.

2. Mapping Lahan Pertanian

3. Price Rice Spesifik Lokasi

4. Meningkatkan Kualitas dalam Pengambilan Keputusan di Semua aAspek dalam Pembangunan Pertanian di Kota Denpasar

5. Pengembangan Pertanian Digital

6. Pengembangan Pertanian Digital di Kota Denpasar. Diarahkan secara bertahap dengan penggunaan alat-alat pertanian pintar seperti Internet of Things (IoT), big data, kecerdasan buatan (AI), drone, dan sistem informasi geografis (GIS). Pertanian digital berfokus pada pengelolaan yang lebih baik dan pengambilan keputusan yang lebih terinformasi.

Inovasi Mager di Pesisi (Majukan Gerakan Pertanian Presisi ) saat ini masih belum diterapkan di Kabupaten lain di Provinsi Bali. Kota Denpasar telah melaksanakan pengembangan pertanian presisi (Price Rice) dengan luas 6,5 ha di 4 Subak (Subak Umadesa, Subak Umalayu, Subak Padanggalak dan Subak Renon ). Di mana pada tahun 2023 dimulai dengan melaksanakan demplot. Lalu bagaimana hasilnya?

Hasilnya adalah:

(1). Peningkatan produktivitas tanaman pangan padi mencapai 10% (Demplot Presisi Subak Umadesa 2023) hingga 40% (Demplot Pengembangan pertanian Presisi Subak Padang galak 2024)

(2). Pengambilan keputusan yang lebih cepat dan presisi

(3). Peningkatan Produksi Gabah di Kota Denpasar

(4). Pendataan data social ekonomi petani dlakukan secara bertahap

(5). Rekomendasi Pemupukan per-petak lahan dilaksanakan secara bertahap

(6). Prediksi hasil Panen dapat dilaksanakan dengan cepat

(7). Data rekomendasi pemupukan per petak lahan dilaksanakan secara bertahap

Ketahanan Pangan dan Swasembada Pangan

Ketahanan pangan adalah isu yang memiliki banyak dimensi dan sangat kompleks, mencakup aspek sosial, ekonomi, politik, dan lingkungan. Dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan pangan, aspek politik seringkali menjadi faktor yang paling berpengaruh.

Mewujudkan ketahanan pangan yang berkelanjutan telah menjadi isu penting dan agenda prioritas dalam berbagai pertemuan internasional yang melibatkan berbagai negara dan lembaga. Berbagai organisasi internasional, seperti Food and Agriculture Organization (FAO), Asia and the Pacific Economic Cooperation (APEC), dan Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), membahas secara mendalam upaya untuk mencapai ketahanan pangan.

Selain itu, beberapa negara juga berinisiatif mendiskusikan isu ini secara global, seperti konferensi yang diadakan oleh pemerintah Jerman pada tahun 2011 dan konferensi internasional tentang ketahanan pangan di Asia yang diselenggarakan oleh akademisi Singapura.

Dalam pertemuan-pertemuan tersebut, berbagai topik terkait ketahanan pangan dibahas secara mendalam, diambil kesepakatan, dan dikeluarkan pernyataan yang mencerminkan pemahaman terhadap masalah yang ada serta rekomendasi untuk penanganannya.

Swasembada pangan adalah kondisi di mana suatu negara atau daerah mampu memenuhi kebutuhan pangan penduduknya secara mandiri, tanpa bergantung pada impor dari luar.

Konsep ini bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan, memastikan ketersediaan pangan yang cukup, serta menjaga stabilitas harga pangan. Untuk mencapai swasembada pangan, biasanya dilakukan pengembangan pertanian, peningkatan produktivitas, serta dukungan kebijakan dari pemerintah

Swasembada pangan adalah upaya untuk mencapai kemandirian dalam produksi pangan, sehingga negara tidak tergantung pada impor. Berikut adalah beberapa langkah yang bisa diambil untuk mencapai swasembada pangan:

Peningkatan Produksi Pertanian: Menerapkan teknologi pertanian modern, seperti pemilihan bibit unggul, penggunaan pupuk yang tepat, dan teknik irigasi yang efisien.
Diversifikasi Pangan: Mengembangkan berbagai jenis tanaman pangan untuk mengurangi ketergantungan pada satu jenis komoditas, seperti beras.
Pengembangan Infrastruktur: Membangun dan memperbaiki infrastruktur pertanian, seperti jalan, irigasi, dan pasar, untuk memudahkan distribusi dan akses petani.
Pelatihan dan Penyuluhan: Memberikan pelatihan kepada petani tentang praktik pertanian yang baik dan inovasi terbaru agar mereka dapat meningkatkan hasil panen.
Dukungan Kebijakan: Mengimplementasikan kebijakan yang mendukung petani, seperti subsidi, akses kredit, dan perlindungan harga.
Pengurangan Kerugian Pascapanen: Meningkatkan teknik penyimpanan dan pengolahan hasil pertanian agar lebih tahan lama dan mengurangi limbah.
Perbaikan Sistem Pemasaran: Membangun sistem pemasaran yang adil dan efisien agar petani mendapatkan harga yang wajar untuk produk mereka.
Peningkatan Riset dan Pengembangan: Mendorong penelitian dalam bidang pertanian untuk menemukan solusi terhadap masalah yang dihadapi petani, seperti hama dan penyakit.

Kendala Swasembada Pangan di Indonesia

Swasembada pangan di Indonesia menghadapi beberapa kendala, antara lain:

Ketergantungan pada Impor: Beberapa komoditas, seperti beras dan kedelai, masih bergantung pada impor, yang dapat dipengaruhi oleh fluktuasi harga internasional.
Keterbatasan Lahan Pertanian: Konversi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian, seperti perumahan dan industri, mengurangi luas lahan yang tersedia untuk produksi pangan.
Perubahan Iklim: Perubahan iklim menyebabkan cuaca yang tidak menentu, seperti banjir dan kekeringan, yang berdampak pada hasil pertanian.
Infrastruktur yang Kurang Memadai: Kualitas infrastruktur pertanian, seperti irigasi, jalan, dan fasilitas penyimpanan, seringkali masih rendah, yang menghambat distribusi dan aksesibilitas pangan.
Kurangnya Teknologi Pertanian Modern: Adopsi teknologi pertanian yang lebih efisien masih rendah, yang mengakibatkan produktivitas yang tidak optimal.
Pendidikan dan Pelatihan Petani: Banyak petani yang belum mendapatkan pendidikan atau pelatihan yang memadai tentang praktik pertanian yang baik dan berkelanjutan.
Permasalahan Sosial dan Ekonomi: Kemiskinan di kalangan petani dan kurangnya akses ke pasar juga menjadi kendala dalam meningkatkan produksi pangan.
Mengatasi kendala-kendala ini memerlukan pendekatan terpadu, melibatkan pemerintah, petani, generasi muda,  dan sektor swasta untuk meningkatkan ketahanan pangan di Indonesia.

Alasan Generasi Muda Tidak Mau Bertani

Sektor Pertanian yang semakin menua, sebab minat gerasi muda belum banyak berminat untuk menggeluti bidang pertanian.

Hasil Sensus Pertanian 2023 menunjukkan bahwa petani semakin menua. Proporsi petani berusia 55 tahun ke atas meningkat, sementara jumlah petani berusia 44 tahun ke bawah mengalami penurunan.

Dalam survei terhadap 135 responden berusia antara 15-26 tahun, ditemukan alasan mengapa generasi Z kurang tertarik untuk terjun ke bidang pertanian. Mayoritas responden menyatakan bahwa mereka merasa bidang pertanian tidak menawarkan pengembangan karir (36,3 persen), berisiko tinggi (33,3 persen), memiliki pendapatan yang rendah (20 persen), kurang dihargai (14,8 persen), dan dianggap tidak menjanjikan (12,6 persen).

Ada beberapa alasan mengapa generasi muda jarang mau bertani:

Pertama, Pandangan Karier: Banyak yang menganggap bertani sebagai pekerjaan yang kurang menjanjikan dan lebih memilih profesi yang dianggap lebih modern atau bergengsi.

Kedua, Kesulitan Akses: Terdapat tantangan dalam mendapatkan akses lahan, modal, dan teknologi yang diperlukan untuk bertani secara efisien.

Ketiga, Kurangnya Pengetahuan: Pendidikan dan pelatihan tentang pertanian sering kali kurang, sehingga generasi muda merasa tidak siap untuk terjun ke bidang ini.

Keempat Ketidakpastian Pendapatan: Pertanian sering kali dianggap berisiko karena ketergantungan pada cuaca dan harga pasar yang fluktuatif.

Kelima, Gaya Hidup Urban: Banyak generasi muda yang lebih memilih tinggal di kota dan menikmati kehidupan urban yang menawarkan berbagai fasilitas dan peluang.

Keenam, Persepsi Tradisional: Bertani sering kali dilihat sebagai pekerjaan yang kuno dan tidak sesuai dengan gaya hidup modern.

Untuk menarik minat generasi muda, perlu ada inovasi dalam pertanian, seperti teknologi pertanian yang lebih baik, serta pendidikan dan pelatihan yang lebih relevan. Moga bermanfaat***

You May Also Like

More From Author