Misi Indonesia meraih poin maksimal buyar pada detik-detik akhir. Kemenangan yang sudah di depan mata sirna karena tuan rumah sukses menyamakan kedudukan tepat sebelum pertandingan berakhir. Benarkah karena wasit tidak netral?
Penunjukkan wasit Ahmed Abu Bakar Said Al-Kaf memang sempat dipertanyakan sejumlah pengamat. Bahkan salah satunya–saya tak mau menyebut nama–mengingatkan agar para pemain timnas bersikap waspada dan tidak terpancing dengan kepemimpinan wasit.
Kekhawatiran yang masuk akal. Dalam laga yang melibatkan tim Asia Barat, yakni Bahrain, kenapa pengadil yang ditugaskan AFC malah berasal dari Oman yang juga negara Asia Barat?
Bahrain dan Oman sama-sama anggota West Asian Football Federation (WAFF). Sama-sama negara berbahasa Arab pula, sehingga menimbulkan kekhawatiran akan adanya potensi main mata demi menguntungkan tuan rumah.
Karena itulah ketika keunggulan Indonesia dibatalkan gol Mohamed Jasim Marhoon pada menit 90+9, para pemain dan ofisial timnas mengerubungi Ahmed Al-Kaf. Mereka mempertanyakan injury time yang molor sangat jauh dari yang semula diberikan, yakni 6 menit.
Shayne Pattynama tampak sangat emosional dan menyulut bentrokan fisik dengan kubu Bahrain. Sedangkan manajer timnas Kombes (Pol.) Sumardji sampai dihadiahi kartu merah oleh wasit.
Respons EPICTOTO tersebut sangat disayangkan, sebab sama sekali tidak akan mengubah hasil pertandingan. Alih-alih muntab secara emosional, lebih baik segenap pemain dan ofisial merenungi pelajaran apa saja yang didapat dari laga melawan Bahrain ini.
Fokus hingga Peluit Akhir
Satu hal yang agaknya dilupakan para pemain Indonesia tadi malam–juga para netizen dan bahkan pandit kenamaan, kaidah dasar injury time itu adalah “boleh lebih, tetapi tak boleh kurang.” Jadi, ketika fourth official menunjukkan angka 6 pada papan yang ia usung, itu bermakna pertandingan masih akan berlanjut sampai setidaknya enam menit lagi.
Ingat, angka 6 itu bukan waktu final, melainkan tambahan minimal yang harus diberikan. Artinya, wasit justru sah untuk disalahkan kalau sudah mengakhiri pertandingan sebelum injury time 6 menit itu habis.
Namun jika sepanjang injury time banyak terjadi pelanggaran, tim medis masuk lapangan, ada pergantian pemain, maupun selebrasi gol, wasit diperbolehkan memperpanjang pertandingan melebihi waktu yang semula diberikan.
Hal ini sebagaimana diatur dalam Laws of the Game yang menjadi panduan dasar aturan sepak bola dunia di bawah FIFA. Ketentuan soal injury time atau additional time ini tercantum dalam Law 7 (The Duration of Match), butir 3 (Allowance for time lost).
“The fourth official indicates the minimum additional time decided by the referee at the end of the final minute of each half. The additional time may be increased by the referee but not reduced.” Demikian bunyi paragraf 2 butir tersebut.
Wasit hanya boleh mengakhiri pertandingan sebelum injury time habis jika memang ada alasan logis. Misalnya, tim yang sedang tertinggal amat sangat tidak mungkin mengejar skor. Atau para pemain sudah sangat kelelahan sehingga lebih baik laga diakhiri ketimbang banyak yang menderita cedera.
Satu-satunya penanda final bahwa pertandingan berakhir adalah ketika wasit meniup peluitnya dua kali panjang-panjang. Sebelum itu terjadi, para pemain harus tetap fokus pada apa yang sedang mereka perjuangkan.
Karena itu saya sangat setuju jika ada yang menyatakan bahwa seharusnya para pemain Indonesia mengulur-ulur waktu saja ketika tengah mendapatkan bola di pengujung injury time babak kedua. Seingat saya ada dua momen begini yang terjadi di menit-menit akhir, tetapi dibuang begitu saja.
Kenapa tidak menahan bola selama mungkin di area lawan? Entah dengan memain-mainkannya di sudut lapangan atau boleh juga dengan memantul-mantulkannya ke tubuh pemain Bahrain.
Ketika bola keluar lapangan dan kita mendapat lemparan ke dalam, ulangi polanya sampai wasit meniup peluit akhir. Bukan malah langsung mengeksekusi si kulit bundar yang berakibat penguasaan berbalik kepada lawan dan berujung gol penyama skor.
Hormati Semua Lawan
Dalam konferensi pers prapertandingan yang digelar pada Rabu (9/10/2024), ada satu pertanyaan menarik yang diajukan jurnalis Bahrain. Ia mempertanyakan kepada Shin Tae-yong, kenapa para pemain Indonesia terlihat santai dan cenderung main-main saat menjalani latihan?
Sebagaimana kita ketahui bersama, momen-momen dalam sesi latihan Jay Idzes, dkk. memang rutin dibagikan di media sosial oleh ofisial timnas. Agaknya jurnalis tadi mengamati setiap unggahan, lalu menyimpulkan jika Indonesia tidak menganggap serius laga melawan Bahrain.
Sayangnya, STY menanggapi pertanyaan tersebut juga secara santai, bahkan hanya dengan satu kalimat. Katanya, suasana latihan memang sengaja dibuat menyenangkan agar para pemain tidak tegang.
Jawaban yang disampaikan melalui penerjemah tersebut agaknya tak memuaskan penanya. Karena itulah ia mengejar penjelasan lebih lanjut, tetapi yang didapat hanyalah sebuah pengulangan.
Bagi saya pribadi, hal ini sungguh sangat disayangkan. Apa yang dipertanyakan jurnalis Bahrain tersebut selayaknya menjadi perhatian bagi timnas. Bahwa siapapun lawan yang bakal dihadapi, tunjukkanlah sikap serius.
Para pemain naturalisasi yang berbasis di Eropa seharusnya paham bahwa sebagai pemain mereka musti menghormati semua lawan. Jangan sampai ada sikap overconfidence, apalagi jika itu dikarenakan merasa berasal dari lingkungan sepak bola yang lebih maju.
Benar, suasana santai dalam latihan memang diperlukan. Namun sebaiknya momen-momen bercanda disimpan untuk konsumsi sendiri saja, sedangkan yang diunggah ke media sosial hanyalah saat-saat para pemain tengah serius berlatih.
Jangan dibalik, saat latihan tampak sangat santai dan tertawa-tawa. Namun ketika bertanding kelihatan tegang minta ampun, sampai-sampai selama setengah jam pertama sama sekali tak terlihat pola permainannya.
Belajar Introspeksi Diri
Satu kebiasaan buruk Shin Tae-yong setiap kali timnya meraih hasil negatif adalah selalu menuding pihak lain sebagai penyebab. Tak pernah ada penjelasan dari sisi teknis, melainkan selalunya menyalahkan faktor-faktor lain.
Ketika dikalahkan Irak di Basra pada matchday pertama Putaran Kedua, 16 November 2023, STY berdalih para pemain kelelahan karena baru saja menempuh perjalanan jauh. Lalu ketika hanya bisa bermain imbang di kandang Filipina sepekan berselang, yang dijadikan alasan anak-anak asuhannya tidak terbiasa bermain di lapangan sintetis.
Lalu malam tadi, yang dijadikan kambing hitam adalah wasit Ahmed Al-Kaf. Dalam sesi konferensi pers pascapertandingan, STY terang-terangan menyebut wasit asal Oman tersebut memalukan dan banyak keputusannya yang tidak tepat.
Ketika menyaksikan itu, memori saya seketika kembali ke momen sama setelah Indonesia dikalahkan Irak pada partai pembuka fase grup Piala Asia 2023, Januari lalu. Ketika itu Coach Shin juga menyalahkan wasit yang, menurutnya, membuyarkan fokus para pemainnya karena mengesahkan gol kedua Irak yang seharusnya offside.
Sikap menyalahkan pihak lain seperti yang dicontohkan STY ini rupanya menular. Lihat saja respons para pemain seusai pertandingan, juga bagaimana netizen Indonesia memberi komentar di media sosial.
Tidak sedikit netizen kita yang berprasangka buruk pada AFC karena Sheikh Salman bin Ibrahim Al Khalifa, Presiden AFC saat ini, berasal dari Bahrain. Kesimpulan yang berkembang, konfederasi sepak bola Asia tersebut sengaja menugaskan wasit Al-Kaf yang sesama orang Arab agar menguntungkan tuan rumah.
Seorang komentator senior sampai menceletuk “wasitnya dibayar, tuh!” pada sebuah siaran langsung match commentary di YouTube. Bahkan ia dengan yakin menunjuk satu momen di mana wasit Al-Kaf ingin memberi hadiah penalti pada Bahrain, tetapi tidak jadi.
Oke, saya pribadi setuju ada beberapa hal menyebalkan dari kepemimpinan Ahmed Al-Kaf. Namun kalau dibilang wasit berlisensi FIFA tersebut tidak adil dan memihak tuan rumah, apalagi sengaja menunggu sampai Bahrain mencetak gol penyeimbang baru mengakhiri pertandingan, nanti dulu.
Alih-alih menudingkan telunjuk ke orang lain, kenapa tidak introspeksi diri saja? Toh, sepanjang pertandingan Jay Idzes, dkk. sangat tertekan dan kesulitan mengembangkan permainan.
Bayangkan, sampai lebih dari 30 menit pertama para pemain kita tampil sangat berantakan. Saya sampai terheran-heran sendiri, masa iya penampilan timnas balik ke setelah pabrik begitu padahal menurunkan 10 pemain naturalisasi sebagai starter?
Ancaman pertama Indonesia ke pertahanan Bahrain baru tercipta pada injury time babak pertama. Yakni ketika terjadi kemelut di muka gawang Ebrahim Lutfalla yang berujung gol Ragnar Oratmangoen.
Jadi, ketimbang menyalahkan wasit apalagi AFC, kenapa tidak menampar muka sendiri karena gagal mengembangkan permainan? Juga bolak-balik gagal memanfaatkan peluang emas untuk mengunci kemenangan?
Andai saja dua counter attack terakhir berhasil berbuah gol, sudah pasti kemenangan bakal dibawa pulang dari Bahrain National Stadium. Lawan tak bakal mampu mengejar di sisa waktu yang ada.
Namun karena gagal menambah gol, ketika lawan membalas lagi ya jelaslah hasilnya jadi seri. Maka, berintrospeksi bakal lebih bermanfaat untuk meraih hasil maksimal di laga-laga berikutnya.
Merencanakan Kemenangan
Satu ciri khas lain dari STY adalah gaya permainannya yang kental nuansa bertahan. Pola yang ia samarkan dengan possession football, di mana timnya lebih sering menunggu di area sendiri dan serangan-serangan dibangun secara cepat bahkan cenderung sporadis.
Dulu memang sempat ada masa di mana STY menekankan build up serangan dari bawah, bahkan sejak bola dipegang penjaga gawang. Namun belakangan yang lebih sering terlihat adalah permainan cepat yang lebih banyak berujung kehilangan bola.
Strategi begini dapat dimaklumi jika yang dihadapi adalah tim-tim sekelas Arab Saudi, Australia apalagi Jepang. Namun jika skema sama juga dipakai sewaktu berhadapan dengan tim yang secara kualitas tak terlalu jomplang perbedaannya, katakanlah Bahrain tadi malam, masa iya masih tetap mengusung negative football?
Reaksi para pemain seusai pertandingan menunjukkan jika mereka sangat menginginkan kemenangan. Mereka tak mau keunggulan yang mati-matian dijaga sirna begitu saja saat wasit meniup peluit panjang.
Dari sini tergambar jika sebetulnya para pemain menyadari mereka tak bermain baik.. Sebagai pesepak bola profesional tentulah mereka tahu siapa yang lebih unggul di sepanjang pertandingan dan layak menang.
Jika melihat cara mereka bermain di atas lapangan, saya rasa Jay Idzes, dkk. paham bahwa hasil seri sudah sepantasnya disyukuri. Ketika kemudian permainan di bawah standar itu nyaris membuahkan kemenangan, tentu saja mereka berusaha mempertahankannya mati-matian.
Eh, ndilalah batal menang. Muntablah mereka semua.
Maka, saya harap mulai pertandingan berikutnya STY berani keluar dari zona nyaman. Alih-alih berharap menang dengan permainan cenderung bertahan, mengapa tidak merencanakan strategi untuk meraih kemenangan sejak awal?
Sekali lagi saya bisa mengerti jika sikap defensif itu diterapkan kala menghadapi Arab Saudi, Australia apalagi Jepang. Namun melawan Tiongkok di Qingdao, 15 Oktober nanti, masa iya tidak berani keluar dan menekan?