“Mohon maaf, Kak. Di sini kami hanya menerima transaksi cashless. Bisa debit atau scan QRIS, ya.”
Siapa di sini yang pernah mengalami kejadian seperti di atas? Di zaman yang serba modern ini memang segalanya jadi lebih praktis. Bahkan untuk membawa uang pun kini tidak perlu repot ke atm dulu karena semuanya bisa diakses hanya dengan ponsel.
Transaksi cashless ini pun semula hanya bisa dilakukan di tempat-tempat besar, namun sekarang warung kecil pun sudah menyediakan kode QR sebagai bentuk pembayaran yang semakin memudahkan pembeli. Memang betul bahwa ini praktis, bahkan saya pun merasa sangat terbantu dengan kemajuan teknologi ini.
Hanya saja, dipikir-pikir justru jadi bumerang tersendiri ketika pembayaran tunai malah berbalik ditolak di beberapa tempat. Padahal secara peraturan perundang-undangan pun uang rupiah tetaplah jadi sarana pembayaran yang sah.
Tempat-tempat Epictoto seperti kafe dan rumah makan misalnya yang semakin marak menerapkan cara anti tunai ini. Bahkan tanpa ragu tulisan cashless only atau tidak menerima tunai sudah disimpan di dekat kasir sebagai peringatan sederhana kepada konsumennya.
Jika dulu kita bertanya, “Bisa bayar pakai QRIS/debit?” sekarang malah berbalik “Bisa bayar tunai?” karena saking menjamurnya transaksi cashless yang perlahan menggeser pembayaran menggunakan uang rupiah langsung.
Tentu kita harus bisa menyesuaikan zaman yang semakin serba praktis ini. Tapi sekali lagi, bukan berarti pembayaran tunai jadi dilarang. Ini terasa tidak adil seakan semua orang dipaksa cashless padahal ada sebagian orang yang tetap lebih nyaman menggunakan uang cash sebagai sarana pembayaran, terutama bagi mereka orang tua yang tidak semuanya melek teknologi.
Beberapa bulan lalu saya pernah juga menulis soal ini (bisa dibaca di sini) di mana ada beberapa faktor yang menyebabkan pihak merchant menerapkan sistem cashless only, seperti sulitnya mencari uang receh untuk kembalian dan rawannya uang palsu dan penipuan lainnya.
Ketika tutup shift pun pasti kasir akan menghitung uang yang jumlahnya sangat banyak. Dengan adanya sistem cashless sebenarnya akan meminimalisir terjadinya selisih uang. Tapi seperti dua sisi mata koin, ada hal juga yang menjadi gangguan dalam pembayaran non-tunai, di antaranya sinyal yang jelek (baik dari pihak merchant ataupun pembeli) dan kemungkinan transaksi gantung atau gagal.
Jika ada case seperti ini dan merchant sama sekali tidak menerima pembayaran tunai, justru jadi lebih rumit. Belum tentu ketika transaksi kedua akan berjalan lancar. Seharusnya transaksi kedua menggunakan uang cash yang jadi cara paling cepat dan mudah agar tidak terjadi kesalahan pada kali kedua.
Jadi bagi diri saya sendiri yang sebenarnya memang lebih sering melakukan cashless, transaksi tunai bukanlah sesuatu yang harus 100% dihilangkan atau dilarang, apalagi jika nominalnya masih terhitung kecil. Merchant bisa saja cukup menggunakan kata prefer cashless tanpa harus menjadi cashless only. Hal ini akan jadi win win solution bagi siapapun.
Memang sih tidak semua tempat menggunakan sistem cashless only seperti ini. Biasanya ini terjadi di kota-kota besar di tempat yang sering dikunjungi orang.
Melakukan pembayaran tunai pun bukan suatu dosa atau terbilang ketinggalan zaman kok. Semua sah-sah saja dilakukan sebagai sarana pembayaran. Bahkan ketika saya ke Singapore bulan lalu di mana di sana adalah negara maju, pembayaran tunai di tempat kecil hingga besar masih bisa dilakukan tanpa embel-embel harus cashless.
Sebenarnya memang jadi kebijakan masing-masing merchant di mana pembeli harus mengikuti aturan di sana yang sudah dibuat. Jadi ini sebagai curahan hati saya saja yang terkadang sedikit jengkel saat membeli sesuatu dengan uang tunai, tapi malah dilarang karena mereka sama sekali tidak menerima tunai.
Kalau Kompasianer sendiri bagaimana? Lebih senang bayar tunai atau cashless? Yuk, sharing juga di kolom komentar.
Akhir kata, terima kasih sudah mampir. Semoga bermanfaat, dan sampai jumpa di tulisan selanjutnya!