Gempa bumi merupakan salah satu bencana alam yang paling menakutkan di kawasan Asia, terutama di negara-negara yang berada di Cincin Api Pasifik. Ketika berbicara tentang teknologi bangunan tahan gempa, Tokyo menjadi rujukan utama karena pengalaman dan inovasi yang telah diterapkan di kota tersebut.
Jepang sebagai negara yang paling sering dilanda gempa bumi telah mengembangkan teknologi canggih dan standar konstruksi bangunan yang mampu mengurangi kerusakan akibat gempa.
Di Tokyo, pendekatan Cvtogel terhadap arsitektur bangunan yang tetap berdiri kokoh meski tanah berguncang ditopang oleh penelitian intensif dan penerapan teknologi mutakhir. Sebagai contoh, sistem isolasi dasar dan peredam getaran telah menjadi standar dalam membangun struktur bangunan di Jepang.
Menurut Dr. Hiroshi Kitagawa, profesor Teknik Sipil di Universitas Tokyo, efisiensi dari teknologi ini terletak pada kemampuannya untuk menyerap dan mendistribusikan energi gempa sehingga kerusakan struktural dapat diminimalkan.
Melihat ke negara tetangga di Asia Tenggara, seperti Filipina dan Indonesia, adopsi teknologi bangunan tahan gempa menjadi tantangan tersendiri.
Di Indonesia, contohnya, tantangan utama adalah karakteristik geologis dan topografis yang sangat bervariasi. Pulau-pulau seperti Sumatra, Jawa, dan Lombok terkenal memiliki tanah yang berbeda-beda konsistensinya, memengaruhi bagaimana bangunan tahan gempa harus dirancang dan dibangun.
Kondisi tanah yang beragam mengharuskan penyesuaian teknologi yang tepat. Di daerah dengan tanah lembek, seperti di Jakarta, risiko amplifikasi gelombang gempa lebih tinggi dibandingkan dengan tanah berbatu.
Prof. Iwan Nurdin, ahli geoteknik dari Institut Teknologi Bandung (ITB), menekankan pentingnya melakukan studi tanah yang mendalam sebelum pembangunan gedung pencakar langit di Jakarta.
Kemiripan kondisi geologis antara Filipina dan Indonesia juga menghadirkan kesempatan untuk bertukar pengetahuan dalam pengembangan teknologi tahan gempa.
Filipina, yang sering mengalami gempa dan letusan gunung berapi, telah mulai mengimplementasikan beberapa teknologi Jepang, termasuk sistem peredam massa yang disematkan pada struktur bangunan tinggi mereka, untuk meningkatkan ketahanan terhadap guncangan magnetik.
Penerapan teknologi tersebut di Jakarta kini juga menjadi perhatian serius. Pemerintah bersama pakar sipil telah mulai merancang regulasi baru terkait dengan bangunan tinggi yang mengadopsi teknologi peredam massa, sebagai upaya untuk meningkatkan kesiapsiagaan kota dalam menghadapi gempa besar di masa depan. Melihat keberhasilan Tokyo, adaptasi teknologi peredam menjadi solusinya.
Di kota-kota seperti Tokyo, pemerintah Jepang dan asosiasi sipil telah mempromosikan adanya pengecekan berkala dan sertifikasi bangunan tahan gempa dengan skala yang sangat ketat.
Menurut Prof. Kenichi Suga, insinyur struktur terkenal dari Universitas Kyoto, pendidikan dan pelatihan teknis di lapangan sangat penting untuk menjamin bahwa setiap aspek dari konstruksi diimplementasikan dengan benar.
Untuk dapat meniru kesuksesan Tokyo, pelatihan khusus bagi para tenaga kerja konstruksi dan arsitek juga mulai dirancang di Indonesia. Beberapa universitas di Indonesia, termasuk ITB dan Universitas Indonesia (UI), telah bekerja sama dengan lembaga pendidikan di Jepang untuk menyediakan program pertukaran pengetahuan dan pelatihan.
Di tingkat lokal, banyak tantangan yang harus diatasi dalam adaptasi teknologi tahan gempa ini. Sama halnya dengan Jepang, wilayah-wilayah pesisir di Indonesia terancam oleh risiko likuifaksi, di mana tanah berubah menjadi cair akibat gempa. Peristiwa tragis seperti di Palu pada 2018, mengingatkan para arsitek dan insinyur akan pentingnya memperhitungkan risiko ini dalam desain bangunan.
Desain berbasis risiko, yang dipromosikan di Jepang sebagai pendekatan baru dalam arsitektur tahan gempa, kini banyak diadopsi oleh negara lain. Prof. Rika Sugiyama dari Universitas Nihon mengatakan bahwa mengintegrasikan analisis risiko merupakan langkah penting agar teknologi yang diadaptasi tidak hanya relevan dengan kondisi lokal, tetapi juga ekonomis dan efisien.
Sebelumnya, teknologi tahan gempa di banyak negara Asia didasarkan pada standar internasional yang belum sepenuhnya disesuaikan dengan kondisi lokal. Inovasi baru ini, yang dikenal sebagai “seismic microzonation,” memungkinkan perencanaan kota yang lebih terstruktur dengan memetakan setiap area yang memiliki risiko berbeda untuk mitigasi gempa.
Indonesia tengah bergerak maju dengan adopsi “seismic microzonation” ini, terutama di wilayah padat penduduk seperti Jakarta. Penelitian yang dilakukan oleh LIPI dan BMKG bekerja sama dengan lembaga internasional dirancang untuk membuat peta mikrozonasi yang detail sehingga pembangunan kota bisa lebih terarah dan aman.
Keberhasilan Jepang dalam membangun struktur yang tahan terhadap gempa sebagian besar didukung oleh budaya disiplin dan penegakan aturan yang ketat. Tidak cukup hanya dengan membangun struktur yang kokoh, tetapi juga edukasi publik tentang pentingnya kesiapsiagaan gempa.
Di Indonesia, konsep kesiapsiagaan ini sudah mulai diterapkan, meskipun jalannya tidaklah mudah. Bangunan-bangunan publik sekarang lebih diprioritaskan untuk memiliki fasilitas pengecekan berkala dan tata cara evakuasi. Jepang kerap mengadakan simulasi gempa skala besar yang melibatkan seluruh elemen masyarakat sebagai contoh yang perlu ditiru.
Bagi masyarakat Asia Tenggara lainnya, adaptasi teknologi tahan gempa yang dilakukan Jepang menjadi pelajaran penting bahwa bencana alam tidak bisa dihindari tetapi dampaknya dapat dikurangi.
Misalnya, di Thailand, riset tentang teknologi bangunan tahan gempa mulai difokuskan pada penyesuaian dengan struktur bangunan lokal yang tradisional tetapi memiliki potensi untuk diperkuat.
Usaha untuk mengombinasikan teknologi mutakhir dengan desain arsitektur tradisional menjanjikan hasil yang tidak hanya fungsional tetapi juga estetis. Menurut Dr. Chaiyah Kahaw, seorang ahli arsitektur dari Universitas Chulalongkorn, memadukan seni dan teknologi merupakan cara untuk mendukung keberlanjutan sekaligus ketahanan.
Indonesia dengan kekayaan budaya arsitekturnya juga berpotensi untuk mengadopsi pendekatan serupa. Keberadaan rumah adat seperti Rumah Gadang di Sumatra Barat yang telah terbukti tahan terhadap gempa selama ratusan tahun menjadi bukti bahwa arsitektur tradisional bisa diselaraskan dengan teknologi modern.
Dengan mengamati berbagai pendekatan dari Tokyo ke kota-kota di Asia Tenggara lainnya, terlihat jelas bahwa penyesuaian teknologi memerlukan perhatian pada konteks budaya, geografis, dan ekonomis lokal. Perbedaan dalam implementasi ini adalah kekuatan yang dapat digunakan untuk mendorong inovasi dan kolaborasi lintas negara.
Kolaborasi internasional dan dukungan dari para pakar teknik sipil menjadi sangat penting dalam mewujudkan hal ini. Seminar, workshop, dan simposium yang diadakan secara internasional dapat menjadi wadah untuk berbagi pengetahuan terbaru dan membahas metode praktis yang telah diverifikasi di lapangan.
Pada akhirnya, tujuan dari adaptasi teknologi bangunan tahan gempa tidak hanya untuk memperkuat struktur melawan kekuatan alam tetapi juga untuk melindungi kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Teknologi adalah alat, tetapi penyesuaiannya dengan konteks lokal serta dukungan komunitas menjadi faktor penentu keberhasilan.
Jadi, dengan potensi yang ada, dari Tokyo ke Jakarta dan ke seluruh Asia Tenggara, kita bisa bersama-sama membangun masa depan yang lebih aman dan berkelanjutan. Inovasi dan adaptasi teknologi harus terus dilakukan, kita selalu ingat bahwa keamanan dan keselamatan manusia adalah prioritas utama yang tidak dapat ditawar?!